Oleh: M Bahrus Shofa
Di tengah dinamika dunia modern, istilah global warming bergeser menjadi global boiling. Pergeseran
istilah ini bukan sekadar permainan kata, melainkan cerminan dari kondisi bumi yang kini memanas dengan
kecepatan dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2024 menjadi bukti paling gamblang.
Berdasarkan laporan iklim global, 2024 dinobatkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan kenaikan
suhu rata-rata mencapai 1,55°C di atas level pra-industri. Angka ini bukan sekadar statistik, ia mewakili
penderitaan manusia, kerusakan lingkungan, dan ancaman besar terhadap masa depan peradaban.
Fenomena global boiling menggambarkan realitas bahwa bumi tidak lagi sekadar menghangat, tetapi ia
“mendidih”, Panas ekstrem, gelombang panas berkepanjangan, kebakaran hutan, kekeringan, banjir bandang, dan
badai tropis kini terjadi dengan frekuensi yang jauh lebih tinggi. Ini bukan lagi “bencana alam” dalam pengertian
konvensional, melainkan bencana moral yang dipicu oleh aktivitas manusia sendiri.
Mekanisme yang Mempercepat Pemanasan Global
1. Efek Rumah Kaca: Selimut Atmosfer yang Semakin Mengancam
Gas CO₂ dan metana yang dilepas oleh aktivitas manusia kini bertindak seperti selimut tebal yang
menyelimuti bumi. Panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa justru terperangkap
dalam atmosfer. Semakin tebal “selimut buatan manusia” ini, semakin panas bumi menjadi. Efek rumah kaca
bukan sekadar teori ilmiah; hal tersebut adalah penyebab utama mengapa suhu bumi meningkat drastis selama
seratus tahun terakhir.
2. Aktivitas Manusia yang Tidak Terkontrol
Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas telah menjadi penyumbang utama
emisi karbon global. Deforestasi atau hilangnya hutan sebagai paru-paru dunia menghilangkan kemampuan bumi
menyerap karbon. Industri, transportasi, dan urbanisasi melepaskan miliaran ton emisi setiap tahun. Bahkan,
diperkirakan setengah dari seluruh karbon antropogenik di atmosfer dilepas hanya dalam 40 tahun terakhir.
Padahal, pohon adalah “mesin pendingin alami” bumi. Menanam pohon yang menyerap air, panas, dan karbon
merupakan langkah sederhana namun memiliki dampak besar dalam upaya menekan pemanasan global.
3. Akumulasi Panas di Samudra: Penjaga Bumi yang Kewalahan
Sekitar 90% panas berlebih dari pemanasan global diserap oleh lautan, dan hal ini membuat suhu laut
naik lebih cepat dari sebelumnya. Ketika laut memanas, permukaan air laut ikut meningkat karena air yang
menghangat mengembang, ditambah lagi dengan mencairnya es di kutub yang menambah volume air laut. Kondisi
ini tidak hanya mengubah bentuk garis pantai, tetapi juga mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemanasan laut juga mengacaukan pola cuaca global, arah angin berubah, curah hujan tidak stabil, dan kejadian
cuaca ekstrem seperti kekeringan dan hujan lebat menjadi lebih sering terjadi. Selain itu, laut yang lebih hangat
membuat badai tropis dan siklon semakin kuat karena panas lautan menjadi sumber energi utama bagi badai
tersebut. Semua perubahan ini menunjukkan bahwa pemanasan laut adalah salah satu indikator paling serius dari
krisis iklim yang sedang kita hadapi. Laut yang selama ini menjadi penyangga keseimbangan iklim kini mulai
kewalahan menyerap tekanan dari aktivitas manusia.
Dampak Multisektor di Indonesia: Kenyataan yang Tak Terbantahkan
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tidak ada
sektor yang benar-benar aman dari ancaman krisis iklim. Setiap sudut negeri dari pesisir yang perlahan tergerus
air laut, hingga pegunungan yang kini lebih sering dilanda longsor, menyimpan cerita tentang bagaimana
perubahan iklim mulai mengubah wajah kehidupan sehari-hari. Sektor pertanian, kesehatan, ekonomi, hingga
budaya lokal pun merasakan tekanan yang sama, seakan seluruh sendi kehidupan bangsa bergerak di bawah
bayang-bayang ancaman yang semakin nyata. Iklim yang dahulu dapat diprediksi kini berubah menjadi sesuatu
yang sulit ditebak, menghadirkan tantangan baru sekaligus menuntut langkah-langkah adaptasi yang jauh lebih
cepat dan lebih bijak.1. Ketahanan Pangan yang Terus Melemah
Perubahan pola hujan menyebabkan kekeringan ekstrem di sejumlah sentra beras nasional, termasuk
Indramayu yang selama ini dikenal sebagai “lumbung padi”. Proyeksi menunjukkan produksi padi nasional bisa
turun hingga 8% pada tahun 2025. Ini bukan sekadar angka, itu berarti potensi kelangkaan pangan, kenaikan harga
beras, hingga ketergantungan besar pada impor pangan.
2. Krisis Air dan Bencana Hidrometeorologi
Intrusi air laut kini mencemari air tanah di pesisir utara Jawa. Sementara itu, frekuensi banjir bandang,
longsor, dan angin puting beliung terus meningkat. Setiap tahun, kerugian ekonomi akibat bencana klimatologis
mencapai triliunan rupiah. Di Malang, banjir besar yang awalnya dianggap fenomena “tahunan” kini berubah
menjadi jebakan musiman yang semakin tak bisa diprediksi.
3. Ancaman bagi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Kenaikan permukaan air laut mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia. Pencairan es di kutub
menyebabkan air laut meluap lebih cepat dari perkiraan. Tanpa mitigasi serius, Indonesia bisa kehilangan pulau-
pulau kecil dalam beberapa dekade ke depan.
Solusi Global dan Langkah-Langkah Penting yang Bisa Dimulai Sekarang
1. Transisi Energi Bersih
Mengurangi penggunaan fosil dan beralih pada energi terbarukan seperti angin, matahari, dan air menjadi
langkah wajib. Indonesia memiliki potensi luar biasa sebagai negara tropis dengan sinar matahari berlimpah dan
garis pantai panjang. Dengan kekayaan alam sebesar itu, transisi energi bukan hanya memungkinkan, tetapi juga
dapat menjadi kekuatan baru yang mendorong kemandirian energi dan membuka peluang ekonomi yang lebih
berkelanjutan.
2. Nature-Based Solutions (NBS)
Alih-alih membangun tanggul beton, solusi berbasis alam seperti mangrove, hutan rawa, dan sabuk hijau
jauh lebih efektif menyerap karbon dan meredam hantaman gelombang. Pendekatan ini bukan hanya melindungi,
tetapi juga memulihkan ekosistem, menghadirkan benteng hidup yang bekerja selaras dengan alam dan
memberikan perlindungan jangka panjang bagi wilayah pesisir.
3. Adaptasi Pertanian
Petani perlu beralih pada metode adaptif, seperti varietas benih tahan panas, pengelolaan air cerdas, dan
teknologi irigasi modern. Langkah-langkah ini bukan hanya membantu mempertahankan hasil panen, tetapi juga
memastikan bahwa sektor pertanian tetap tangguh menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu.
Dengan strategi yang lebih cerdas dan berkelanjutan, petani dapat menjaga ketahanan pangan sekaligus
melindungi mata pencaharian mereka.
Peran Kita: Dari Aksi Kecil Menjadi Dampak Besar
Belajar dari masyarakat Badui, kita melihat bagaimana harmoni dengan alam menjadi kunci
keberlanjutan. Mereka tidak hidup dengan berlebihan, tidak mengeksploitasi lingkungan tanpa kontrol, dan
memahami ritme alam dalam setiap langkah kehidupan.
Aksi kita mungkin kecil seperti berjalan kaki, naik transportasi umum, menghemat listrik, atau menanam
pohon, namun dampaknya besar jika dilakukan bersama.
Krisis Iklim adalah Masalah Kita Semua
Perubahan iklim bukan lagi masalah generasi tua atau hanya menjadi tanggung jawab negara besar. Ini
adalah tantangan global yang memerlukan aksi bersama. Negara maju memang memiliki tanggung jawab lebih
besar karena mereka telah lama menjadi penyumbang terbesar emisi karbon. Namun, negara berkembang seperti
Indonesia tidak bisa tinggal diam. Kita berada di garis depan dampak iklim, dan masa depan bangsa bergantung
pada langkah yang kita ambil hari ini.
Climate change is a direct and indirect result of human activity.
Jika akar masalahnya adalah manusia, maka solusinya juga harus dimulai dari manusia. Dari kita. Dari sekarang





