BRTV

Era Global Boiling: Ketika Krisis Iklim Menjadi Ancaman Nyata bagi Ketahanan Pangan dan Masa Depan Indonesia

Oleh: M Bahrus Shofa
Di tengah dinamika dunia modern, istilah global warming bergeser menjadi global boiling. Pergeseran

istilah ini bukan sekadar permainan kata, melainkan cerminan dari kondisi bumi yang kini memanas dengan

kecepatan dan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2024 menjadi bukti paling gamblang.

Berdasarkan laporan iklim global, 2024 dinobatkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan kenaikan

suhu rata-rata mencapai 1,55°C di atas level pra-industri. Angka ini bukan sekadar statistik, ia mewakili

penderitaan manusia, kerusakan lingkungan, dan ancaman besar terhadap masa depan peradaban.

Fenomena global boiling menggambarkan realitas bahwa bumi tidak lagi sekadar menghangat, tetapi ia

“mendidih”, Panas ekstrem, gelombang panas berkepanjangan, kebakaran hutan, kekeringan, banjir bandang, dan

badai tropis kini terjadi dengan frekuensi yang jauh lebih tinggi. Ini bukan lagi “bencana alam” dalam pengertian

konvensional, melainkan bencana moral yang dipicu oleh aktivitas manusia sendiri.

Mekanisme yang Mempercepat Pemanasan Global

1. Efek Rumah Kaca: Selimut Atmosfer yang Semakin Mengancam

Gas CO₂ dan metana yang dilepas oleh aktivitas manusia kini bertindak seperti selimut tebal yang

menyelimuti bumi. Panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa justru terperangkap

dalam atmosfer. Semakin tebal “selimut buatan manusia” ini, semakin panas bumi menjadi. Efek rumah kaca

bukan sekadar teori ilmiah; hal tersebut adalah penyebab utama mengapa suhu bumi meningkat drastis selama

seratus tahun terakhir.

2. Aktivitas Manusia yang Tidak Terkontrol

Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas telah menjadi penyumbang utama

emisi karbon global. Deforestasi atau hilangnya hutan sebagai paru-paru dunia menghilangkan kemampuan bumi

menyerap karbon. Industri, transportasi, dan urbanisasi melepaskan miliaran ton emisi setiap tahun. Bahkan,

diperkirakan setengah dari seluruh karbon antropogenik di atmosfer dilepas hanya dalam 40 tahun terakhir.

Padahal, pohon adalah “mesin pendingin alami” bumi. Menanam pohon yang menyerap air, panas, dan karbon

merupakan langkah sederhana namun memiliki dampak besar dalam upaya menekan pemanasan global.

3. Akumulasi Panas di Samudra: Penjaga Bumi yang Kewalahan

Sekitar 90% panas berlebih dari pemanasan global diserap oleh lautan, dan hal ini membuat suhu laut

naik lebih cepat dari sebelumnya. Ketika laut memanas, permukaan air laut ikut meningkat karena air yang

menghangat mengembang, ditambah lagi dengan mencairnya es di kutub yang menambah volume air laut. Kondisi

ini tidak hanya mengubah bentuk garis pantai, tetapi juga mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemanasan laut juga mengacaukan pola cuaca global, arah angin berubah, curah hujan tidak stabil, dan kejadian

cuaca ekstrem seperti kekeringan dan hujan lebat menjadi lebih sering terjadi. Selain itu, laut yang lebih hangat

membuat badai tropis dan siklon semakin kuat karena panas lautan menjadi sumber energi utama bagi badai

tersebut. Semua perubahan ini menunjukkan bahwa pemanasan laut adalah salah satu indikator paling serius dari

krisis iklim yang sedang kita hadapi. Laut yang selama ini menjadi penyangga keseimbangan iklim kini mulai

kewalahan menyerap tekanan dari aktivitas manusia.

Dampak Multisektor di Indonesia: Kenyataan yang Tak Terbantahkan

Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tidak ada

sektor yang benar-benar aman dari ancaman krisis iklim. Setiap sudut negeri dari pesisir yang perlahan tergerus

air laut, hingga pegunungan yang kini lebih sering dilanda longsor, menyimpan cerita tentang bagaimana

perubahan iklim mulai mengubah wajah kehidupan sehari-hari. Sektor pertanian, kesehatan, ekonomi, hingga

budaya lokal pun merasakan tekanan yang sama, seakan seluruh sendi kehidupan bangsa bergerak di bawah

bayang-bayang ancaman yang semakin nyata. Iklim yang dahulu dapat diprediksi kini berubah menjadi sesuatu

yang sulit ditebak, menghadirkan tantangan baru sekaligus menuntut langkah-langkah adaptasi yang jauh lebih

cepat dan lebih bijak.1. Ketahanan Pangan yang Terus Melemah

Perubahan pola hujan menyebabkan kekeringan ekstrem di sejumlah sentra beras nasional, termasuk

Indramayu yang selama ini dikenal sebagai “lumbung padi”. Proyeksi menunjukkan produksi padi nasional bisa

turun hingga 8% pada tahun 2025. Ini bukan sekadar angka, itu berarti potensi kelangkaan pangan, kenaikan harga

beras, hingga ketergantungan besar pada impor pangan.

2. Krisis Air dan Bencana Hidrometeorologi

Intrusi air laut kini mencemari air tanah di pesisir utara Jawa. Sementara itu, frekuensi banjir bandang,

longsor, dan angin puting beliung terus meningkat. Setiap tahun, kerugian ekonomi akibat bencana klimatologis

mencapai triliunan rupiah. Di Malang, banjir besar yang awalnya dianggap fenomena “tahunan” kini berubah

menjadi jebakan musiman yang semakin tak bisa diprediksi.

3. Ancaman bagi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

Kenaikan permukaan air laut mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia. Pencairan es di kutub

menyebabkan air laut meluap lebih cepat dari perkiraan. Tanpa mitigasi serius, Indonesia bisa kehilangan pulau-

pulau kecil dalam beberapa dekade ke depan.

Solusi Global dan Langkah-Langkah Penting yang Bisa Dimulai Sekarang

1. Transisi Energi Bersih

Mengurangi penggunaan fosil dan beralih pada energi terbarukan seperti angin, matahari, dan air menjadi

langkah wajib. Indonesia memiliki potensi luar biasa sebagai negara tropis dengan sinar matahari berlimpah dan

garis pantai panjang. Dengan kekayaan alam sebesar itu, transisi energi bukan hanya memungkinkan, tetapi juga

dapat menjadi kekuatan baru yang mendorong kemandirian energi dan membuka peluang ekonomi yang lebih

berkelanjutan.

2. Nature-Based Solutions (NBS)

Alih-alih membangun tanggul beton, solusi berbasis alam seperti mangrove, hutan rawa, dan sabuk hijau

jauh lebih efektif menyerap karbon dan meredam hantaman gelombang. Pendekatan ini bukan hanya melindungi,

tetapi juga memulihkan ekosistem, menghadirkan benteng hidup yang bekerja selaras dengan alam dan

memberikan perlindungan jangka panjang bagi wilayah pesisir.

3. Adaptasi Pertanian

Petani perlu beralih pada metode adaptif, seperti varietas benih tahan panas, pengelolaan air cerdas, dan

teknologi irigasi modern. Langkah-langkah ini bukan hanya membantu mempertahankan hasil panen, tetapi juga

memastikan bahwa sektor pertanian tetap tangguh menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu.

Dengan strategi yang lebih cerdas dan berkelanjutan, petani dapat menjaga ketahanan pangan sekaligus

melindungi mata pencaharian mereka.

Peran Kita: Dari Aksi Kecil Menjadi Dampak Besar

Belajar dari masyarakat Badui, kita melihat bagaimana harmoni dengan alam menjadi kunci

keberlanjutan. Mereka tidak hidup dengan berlebihan, tidak mengeksploitasi lingkungan tanpa kontrol, dan

memahami ritme alam dalam setiap langkah kehidupan.

Aksi kita mungkin kecil seperti berjalan kaki, naik transportasi umum, menghemat listrik, atau menanam

pohon, namun dampaknya besar jika dilakukan bersama.

Krisis Iklim adalah Masalah Kita Semua

Perubahan iklim bukan lagi masalah generasi tua atau hanya menjadi tanggung jawab negara besar. Ini

adalah tantangan global yang memerlukan aksi bersama. Negara maju memang memiliki tanggung jawab lebih

besar karena mereka telah lama menjadi penyumbang terbesar emisi karbon. Namun, negara berkembang seperti

Indonesia tidak bisa tinggal diam. Kita berada di garis depan dampak iklim, dan masa depan bangsa bergantung

pada langkah yang kita ambil hari ini.

Climate change is a direct and indirect result of human activity.

Jika akar masalahnya adalah manusia, maka solusinya juga harus dimulai dari manusia. Dari kita. Dari sekarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

google-site-verification: google884c333897a2e291.html