
Jakarta – BRTV, Kapal feri KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam di Selat Bali pada Kamis (3/7/2025) setelah berangkat dari Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk karam dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Kapal tersebut membawa 65 orang, terdiri dari 53 penumpang dan 12 kru, serta 22 kendaraan, termasuk 14 truk. Data terbaru dari Posko Operasi SAR dan Potensi SAR Gabungan di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi menunjukkan terdapat 30 korban yang ditemukan selamat dan enam korban meninggal dunia.
Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, “Setiap kendaraan yang masuk ke dalam dek kapal seharusnya langsung dilashing—yakni diikat dengan sistem pengaman khusus agar tidak bergerak saat kapal digoyang ombak atau terjadi guncangan,” ungkapnya melalui sebuah wawancara di Jakarta (3/7/2025).
Selain itu, Capt. Marcellus juga menekankan praktik keselamatan yang sering dikorbankan untuk keuntungan ekonomi. Jadwal pelayaran yang terlalu padat, tekanan dari pemilik mobil, dan kelonggaran petugas sering kali menjadi kombinasi yang berbahaya. Padahal, Peraturan Menteri Perhubungan sudah jelas menyatakan bahwa kelayakan pelayaran memerlukan pengamanan muatan. Banyak kapal masih berangkat tanpa menjalani pemeriksaan menyeluruh dan seringkali menutup mata untuk memastikan operasi berjalan lancar. Oleh sebab itu, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya dianggap sebagai kegagalan kelembagaan dan etis selain masalah teknis.
Beberapa tragedi sebelumnya, seperti MV Zahro Express (2017), MV Marina Baru 2B (2015), dan MV Sinar Bangun (2018), menunjukkan masalah yang sama, yakni overloading, cuaca ekstrim, struktur yang tidak layak, dan kru yang tidak terlatih. Kendatipun UU No. 17/2008 tentang Pelayaran mengatur banyak hal tentang keselamatan kelautan, penegakan hukum pelabuhan, kekurangan koordinasi, sumber daya manusia, dan penindakan membuat regulasi itu hanyalah kertas kosong. Tak hanya tragedi Selat Bali menyebabkan kesedihan bagi korban dan keluarga mereka, tetapi juga merupakan sinyal buruk bahwa sistem keamanan laut kita masih dalam bahaya dan perlu pembenahan yang nyata. Kematian di laut akan terus terjadi jika tidak ada regulasi yang tegas, pemilik kapal terus melakukan modifikasi, awak tidak dilatih, dan pengawasan hanya bersifat formalitas.
Capt. Marcellus juga menutup pernyataannya dengan penegasan, “Keselamatan tidak bisa ditunda atau dianggap sebagai urusan belakang. Laut tidak memberi ampun pada kecerobohan. Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi pelajaran kolektif bukan sekadar headline berita.”